Oleh
Sholah Imari
Setiap
penyelenggaraan sistem surveilans yang baik, selalu menetapkan ancangan indikator
kinerjanya
, dan
kemudian kegiatan
monitoring dan
evaluasi terhadap penyelenggaraan sistem surveilans adalah
berdasar pada
indikator kinerja ini.
Boleh dikatakan, melakukan
monitoring terhadap indikator kinerja surveilans
adalah merupakan salah satu kegiatan surveilans
terhadap penyelenggaraan
program
surveilans itu sendiri.
Rumusan indikator kinerja harus sederhana, mudah
dilaksanakan, tetapi tetap mengukur mutu /kualitas kinerja surveilans dengan
baik. Setiap satu indikator kinerja surveilans ditetapkan, maka diperlukan
beberapa variabel data yang perlu direkam,
dihimpun, diolah dan dianalisis. Banyaknya kegiatan perekaman,
pengumpulan, pengolahan data tersebut
akan memberikan beban kerja dan
menggangu upaya meningkatkan kinerja surveilans. Oleh karena itu, setiap
penyelenggaraan sistem surveilans perlu menetapkan sesedikit mungkin indikator
kinerja, sesederhana mungkin, tetapi tetap dapat mengukur kualitas
penyelenggaraan surveilans tersebut.
Indikator kinerja yang paling sering digunakan adalah
kelengkapan laporan, ketepatan waktu laporan, kelengkapan distribusi informasi,
terbitnya buletin epidemiologi. Beberapa penyelenggaraan surveilans tertentu
memiliki indikator kinerja spesifik..
(1) Kelengkapan Laporan
Kelengkapan laporan selalu mengukur jumlah laporan yang
diterima dari pelapor (unit) dibanding dengan jumlah laporan yang harusnya
diterima.
Kelengkapan
laporan adalah sebagai salah satu indikator kinerja surveilans yang paling
sering digunakan, baik itu ditingkat nasional, provinsi maupun di
kabupaten/kota, bahkan juga digunakan pada indikator kinerja surveilans
di unit-unit pelayanan dan di masyarakat sebagai laporan kelurahan, desa, atau
kelompok-kelompok masyarakat.
Kelengkapan laporan, merupakan metode pengukuran kinerja
yang paling sederhana, dan jika dirumuskan dengan tepat, dapat memberi dukungan
pengukuran kinerja surveilans yang tepat, dan dapat memberi manfaat untuk
mengidentifikasi adanya permasalah kinerja surveilans lebih fokus dan tepat
waktu.
Rumusan kelengkapan
laporan yang baik adalah
kelengkapan laporan unit sumber data awal (unit pelayanan), tetapi pada penyelenggaraan sistem surveilans nasional dan
provinsi lebih sering berdasarkan pada kelengkapan laporan unit
pengumpul data (Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Dinas Kesehatan Provinsi)
Contoh : Surveilans DBD Provinsi
S
istem surveilans DBD secara nasional berbasis
data yang diperoleh dari
laporan bulanan data kasus dan
kematian DBD R
umah S
akit.
Rumusan Kelengkapan Laporan Unit Pelapor
Berdasarkan kelengkapan laporan berdasarkan laporan
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dapat diketahui, bahwa angka kesakitan DBD Kota
TangSel sebesar 64,0 kasus per 100.000 populasi, adalah dapat dipercaya, karena kelengkapan laporan Dinas Kesehatan
Kabupaten/kota ke Dinas Kesehatan Provinsi mencapai 100%.
Rumusan Kelengkapan Laporan Berdasarkan Data
Sumber Data Awal
Kelengkapan laporan berdasarkan laporan unit pelapor sebagaimana
tersebut diatas tersebut adalah kelengkapan laporan bulanan yang dilaporkan
oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (unit pelapor), sementara kelengkapan
laporan masing-masing rumah sakit (sumber data awal), tidak diketahui, dan oleh
karena itu, angka kesakitan DBD Kota TangSel sebesar 64,0 kasus per 100.000
populasi, adalah belum sepenuhnya
dapat dipercaya.
Kelengkapan laporan berdasarkan data sumber
data awal (rumah sakit) dapat dibuat dalam 2 model, yaitu : Kelengkapan Laporan Total RS per Kab/Kota per tahun dan % RS dengan Kelengkapan Laporan lebih
dari indikator kinerja surveilans yang ditentukan (missal 75%) per tahun
Kelengkapan Laporan Total RS per Unit
Pelapor (Kab/Kota) per tahun adalah :
Jml lap. RS yang diterima dalam periode waktu tertentu (setahun)
------------------------------------------------------------------------------------------------
x 100%
Jml lap. RS yang seharusnya diterima dalam periode waktu yang sama
% RS (sumber data awal)
dengan Laporan Lengkap per tahun *) :
Jml RS dengan jumlah laporan yang diterima lengkap
dalam periode waktu tertentu (setahun)
-------------------------------------------------------------------------------------
x 100%
Jml RS yang seharusnya diterima laporannya
dalam periode waktu yang sama
*) Laporan lengkap sesuai yang ditetapkan, misalnya >75%
laporan diterima
Dari sisi penyelenggaraan manajemen penyelenggaraan
surveilans yang baik, indikator kinerja surveilans terakhir ini merupakan
indikator yang paling baik, karena dapat menunjukkan secara lebih spesifik RS
(sumber data awal) yang kurang aktif membuat laporan dan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota yang mana yang memiliki banyak RS yang tidak lengkap laporannya.
Gambar Peta Kelengkapan Laporan RS per Kabupaten/Kota Provinsi Banten dapat
menjelaskan maksud tersebut.
Pada laporan tersebut diatas dapat dilakukan analisis
sebagai berikut :
(a) Rate insidens Kota Tengerang adalah sangat tinggi
(merah), tetapi jumlah RS yang melapor rendah (merah), sehingga laporan rate
insidens tidak bisa dipercaya
(b) Rate insidens Serang adalah rendah (hijau), dan ini
dipercaya karena jumlah RS yang melapor tinggi juga (hijau)
(c) Secara cepat, berdasarkan kelengkapan laporan Rumah
Sakit ini, dapat diketahui Kabupaten/Kota yang perlu mendapatkan prioritas
perbaikan peningkatan kinerja surveilans, yaitu Kota Tangerang, Kota Tangerang
Selatan dan Cilegon (merah)
Kelengkapan Laporan Sumber Data Berdasarkan Waktu
Pelaporan
Kelengkapan
laporan biasanya dihitung untuk periode waktu setahun, tetapi seringkali
kelengkapan laporan juga perlu dihitung pada saat pelaporan itu dilaporkan,
tergantung periode waktu pelaporan. Indikator kinerja berdasarkan kelengkapan
laporan pada saat pelaporan ini, sering digunakan pada penyelenggaraan
surveilans untuk keperluan pemantauan ketat, seperti pewantauan wilayah
setempat, surveiilans pada waktu terjadi KLB dsb. Seberapa ketat
dilaksanakan, tergantung kebutuhan
masing-masing situasi, bisa tiap hari, tiap bulan atau yang paling sering
adalah tiap minggu.
Contoh.
Pada Laporan Bulanan Data Kesakitan DBD, laporan dibuat dan
dikirimkan oleh Rumah Sakit ke Dinas Kesehatan Kab/Kota setiap bulan. Contoh laporan sebagai berikut
:
Berdasarkan data
tersebut diatas dapat disusun g
ambaran kurva bulanan Data Kasus DBD Kota Tangerang
Selatan, 2010, dan kelengkapan laporannya dapat dicermati pada grafik dibawah
ini.
Sepintas dapat dilihat, kurva kasus DBD menurut Bulan Kejadian pada bulan
Agustus, September dan Oktober sebetulnya lebih tinggi, karena ini hanya
berdasarkan data laporan Rumah Sakit dengan kelengkapan <80% dari seluruh
Rumah Sakit yang harusnya melapor.
Pada kurva perkembangan kasus yang ketat, seperti pada pemantauan wila-yah
setempat ini, seringkali disebutkan batas kritis kelengkapan laporan sebagai
indikator kinerja surveilans yang menyatakan untuk berhati-hati melakukan
analisis data, jika kelengkapan laporan berada dibawah batas kelengkapan yang
diharapkan.
(2) Ketepatan Laporan
Ketepatan waktu
laporan merupakan indikator kinerja kedua yang paling sering digunakan.
Ketepatan waktu laporan adalah tersedianya data surveilans pada unit yang
memanfaatkan data tersebut tepat waktu pada saat data tersebut dipergunakan.
Secara
operasional, ketepatan waktu laporan sering diartikan sebagai tanggal waktu laporan harus sudah
diterima. Misal, laporan bulanan data kesakitan Puskesmas diterima di Dinas
Kesehatan Kota selambat-lambatnya tanggal 5 bulan berikutnya.
Pelaporan dan
atau penggabungan data pada periode waktu yang bukan waktu kejadian seharusnya, dapat mengacaukan pola kurva
dari data surveilans yang akan dianalisis. Oleh karena itu, data surveilans sebaiknya
dikirimkan selalu tepat waktu, jika terlambat, jangan digabungkan dengan data
surveilans waktu berikutnya, tetapi tetap dikirim sebagai data surveilans
periode waktu yang seharusnya.
(3) Keakuratan Jumlah
Kasus dan Diagnosis
Unit Sumber Data,
misalnya Rumah Sakit atau puskesmas, mendapat kasus berdasarkan data kunjungan
berobat, atau kunjungan lain, dan kemudian diperiksa dan didiagnosis oleh
dokter. Oleh karena itu, terdapat makna keakuratan : keakuratan data sebagai
ketepatan diagnosis, dan keakuratan data sebagai ketepatan jumlah kasus yang diidentifikasi,
direkam dan dilaporkan oelh sumber data (misal Rumah Sakit). Untuk
mengetahui kualitas keakuratan jumlah kasus dan diagnosis dilakukan dengan
wawancara (kualitatif) dan observasi kegiatan di lapangan serta membuka
pencatatan kasus-kasus yang datang ke unit pelayanan.
Keakuratan Data Sebagai Ketepatan Diagnosis
Ketidaktepatan
penetapan kasus sebagaimana diharapkan adalah bias yang disebabkan karena tidak
akuratnya definisi kasus atau kemampuan dokter untuk mendiagnosis:
- Bukan kasus, tetapi dinyatakan sebagai kasus
- Kasus benar dinyatakan sebagai kasus
- Kasus, tetapi dinyatakan sebagai bukan kasus
Keakuratan Data Sebagai Ketepatan Jumlah Kasus
Teridentifikasi, Direkam dan Dilaporkan
Kasus-kasus yang
telah didiagnosis oleh dokter, semestinya terekam dan dilaporkan sebagai kasus,
tetapi seringkali kasus-kasus ini tidak terlaporkan :
- Telah didiagnosis
dokter, tetapi tidak tertuliskan diagnosisnya di buku register
- Telah
didiagnosis, dan tercatat dalam buku register, tetapi terlewatkan
Secara
operasional, tidak mudah memantau tingkat keakuratan data surveilans
sebagamana tersebut diatas, biasanya,
pemantauan lapangan (observasi) dilakukan di sumber data awal (misal Rumah
Sakit, Puskesmas, laboratorium) untuk mengukur tingkat keakuratan data tersebut
:
- Bagaimana
kesepakatan mengenai definisi operasional kasus ?
- Bagaimana
prosedur penemuan kasus dibuat dan diterapkan ?
- Siapa yang
mendiagnosis, apakah mereka cukup memiliki kemampuan profesional yang memadai ?
- Memeriksa
register harian dan kartu kasus dan menguji apakah semua kasus yang ditemukan
telah direkam dan dilaporkan
- Menguji
pengetahuan dan perhatian setiap orang yang terkait dengan penyelenggaraan
surveilans di Sumber Data
- Menguji apakah
umpan balik perbaikan data, absensi dan pencapaian indikato kinerja telah
dibuat dan dikirimkan ke sumber data oleh unit yang menerima laporan
(4) Estimasi
Jumlah Kasus Sebagai Indikator Kinerja
Pada surveilans
berbasis data masyarakat, indikator kinerja surveilans, seringkali digunakan estimasi jumlah kasus yang ada di masyarakat, baik
berdasarkan hasil penelitian dan atau berdasarkan hasil-hasil surveilans
sebelumnya, atau hasil surveilans di tempat lain.
Contoh.
Surveilans AFP
menggunakan indikator kinerja “ditemukannya kasus
AFP sebesar minimal 2 per 100.000 anak usia kurang dari 15 tahun pertahun”. Artinya, jika jumlah kasus AFP yang ditemukan
pada suatu Provinsi kurang dari 2 per 100.000 anak usia kurang dari 15 tahun
pertahun, maka dikatakan surveilans dilaksanakan dengan kualitas kinerja
rendah.
Pada surveilans
AFP tersebut, jumlah
kasus AFP yang diharapkan ditemukan adalah estimasi jumlah kasus AFP yang
ada pada suatu populasi
pertahun.
Pada beberapa program-program pengendalian penyakit, dimana
tindakan terhadap kasus itu merupakan sasaran program, seringkali membuat
estimasi kasus sebagai indikator kinerja surveilans, misalnya pada program
pengendalian pnemonia, pengendalian TBC, pengendalian penyakit tidak menular,
dsb. Disini, surveilans berperan sebagai bagian dari startaegi program untuk menemukan kasus.