Oleh Sholah Imari
Surveilans epidemiologi didefinisikan sebagai kegiatan analisis secara sistematis dan
terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah
kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif
dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran
informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan 1).
Sebagai suatu kegiatan yang diselenggarakan secara
sistematis dan terus menerus, maka disamping adanya tujuan yang jelas dan
terukur, juga diperlukan adanya indikator kinerja yang jelas dan terukur.
Secara umum indikator
kinerja biasanya dibagi 2 jenis, yaitu indikator kinerja program dan
indikator kinerja surveilans
(1)
Indikator kinerja program merupakan ukuran besarnya hasil kerja yang diharapkan diperoleh setelah satu
rangkaian aktivitas program. Indikator kinerja ini lebih tepat sebagai ukuran
pencapaian tujuan program, dan berdasarkan indikator kinerja ini dapat
dinyatakan program telah mencapai tujuan yang diharapkan atau tidak. Misalnya,
indikator kinerja program pengendalian DBD adalah angka kesakitan <52 kasus
per 100.000 penduduk pertahun perProvinsi.
(2)
Indikator kinerja surveilans merupakan ukuran kualitas suatu sistem kerja. Secara operasional, suatu
unit program apabila menyatakan besarnya masalah program, maka wajib didukung oleh sistem
kerja informasi yang baik. Baik atau tidak baiknya sistem kerja informasi ini, dinyatakan dengan
ukuran atau indikator kinerja surveilans.
Misalnya, angka kesakitan demam
berdarah dengue (DBD) di Jakarta adalah sebesar 225 kasus per
100.000 penduduk pada tahun 2010. Penyataan besarnya angka kesakitan DBD ini, diperoleh
dari pengumpulan data dari semua rumah sakit atau hanya sebagian rumah sakit
(kelengkapan laporan) ?, seberapa akurat kasus DBD itu sesuai dengan definisi
yang telah ditetapkan (keakuratan pengisian variabel) ?, dsb. Kelengkapan
laporan dan tingkat keakuratan
pengisian variabel DBD tersebut diatas merupakan indikator kinerja untuk
mengukur mutu laporan angka kesakitan DBD di Jakarta. Indikator kinerja ini
yang disebut “indikator kinerja surveilans DBD”
Indikator kinerja surveilans dapat digunakan sebagai bagian
dari monitoring dan evaluasi penyelenggaraan sistem surveilans. Data indikator kinerja surveilans menurut
karakteristik waktu dan tempat, dapat menuntun kepada sumber data yang perlu
mendapat pembinaan dan dukungan dalam
penyelenggaraan sistem surveilans yang lebih baik
Indikator kinerja surveilans ini sering rancu dengan tujuan surveilans, dan indikator kinerja program. Kerancuan ini dapat
mengakibatkan timbulnya kelemahan
manajemen penyelenggaraan sistem surveilans, terutama penyelenggaraan sistem
surveilans yang berada dalam satu
paket dengan penyelenggaraan intervensi program. Beberapa contoh bahasan dibawah ini dapat menjelaskan
perbedaan-perbedaan tersebut :
Contoh : Surveilans Demam Berdarah Dengue
Tujuan program pengendalian DBD adalah menurunnya insidens DBD di
semua daerah
Indikator kinerja program pengendalian
DBD adalah angka kesakitan DBD sebesar kurang
dari 50 kasus per
100.000 populasi per tahun di setiap Kabupaten/Kota
|
Tujuan Surveilans DBD adalah terdatakannya
angka kesakitan DBD per 100.000
populasi per tahun di setiap Kabupaten/Kota
Indikator Kinerja Surveilans DBD adalah setiap rumah
sakit yang merawat anak mengirimkan laporan bulanan data kesakitan DBD dengan kelengkapan laporan masing-masing RS lebih dari 75% per tahun
|
Makna indikator kinerja surveilans DBD tersebut diatas adalah sebagai berikut :
(1) Berdasarkan laporan
Rumah Sakit, besarnya angka kesakitan DBD Kabupaten Bogor, selama tahun 2010
adalah 40 kasus per 100.000 populasi
(contoh), maka dapat dinyatakan bahwa program pengendalian DBD Kabupaten Bogor
telah berhasil menekan angka kesakitan DBD jauh dibawah indikator kinerja program yang ditetapkan sebesar 50 kasus per 100.000
populasi per Kabupaten per tahun
(2) Untuk
memastikan laporan tersebut “berkualitas baik” dan “dapat dipercaya”, dapat
diuji denganterpenuhinya indicator kinerja surveilans, yaitu :
(a) Kabupaten Bogor
memiliki 4 rumah sakit, dengan kelengkapan
laporan masing-masing rumah sakit selama tahun 2010 dapat diketahui pada tabel
1 dibawah ini
Tabel 1
Daftar Absensi
Laporan Bulanan Data Kesakitan Rumah Sakit
Kabupaten
Bogor, 2010
------------------------------------------------------------------------------------------
Jumlah Laporan
Nama RS
-------------------------------------------------------------
Diterima Seharusnya %
------------------------------------------------------------------------------------------
RS Sumber 6 12 50%
RS Sehat 10 12 83%
RS Bogora 11
12 92%
RS Harapan 12
12 50%
------------------------------------------------------------------------------------------
Total 6+10+11+12=39 4x12=48 82%
------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber : data contoh
(b) Pada daftar absensi laporan tersebut diatas, Kabupaten Bogor memiliki kelengkapan laporan total RS sebesar 82%, atau sudah sesuai dengan indikator kinerja surveilans DBD pertama (kelengkapan laporan total RS sebesar lebih dari 80% pertahun per kabupaten). Berdasarkan indikator kinerja surveilans ini, maka laporan angka kesakitan DBD Kabupaten Bogor sebesar 40 kasus per 100.000 populasi adalah “cukup berkualitas” atau “dapat dipercaya”.
(c) Pada daftar
absensi laporan tersebut diatas, Kabupaten Bogor memiliki 4 rumah sakit. Satu
rumah sakit, RS. Sumber, ternyata memiliki kelengkapan laporan hanya sebesar
75% selama tahun 2010, atau
tidak memenuhi indikator kinerja surveilans kedua (kelengkapan laporan
masing-masing rumah sakit sebesar lebih dari 75% pertahun). Berdasarkan indikator kinerja surveilans ini,
maka laporan angka kesakitan DBD Kabupaten Bogor sebesar 40 kasus per 100.000
populasi adalah “tidak cukup berkualitas” atau “tidak dapat dipercaya”.
Contoh : Surveilans
AFP (acute flaccid paralysis) dan Virus Polio Liar
Tujuan program eradikasi polio adalah tercapainya Indonesia bebas polio
Indikator kinerja program eradikasi polio adalah cakupan imunisasi tinggi dan
merata, dan setiap adanya transmisi virus polio liar baru dapat dihentikan
dalam waktu kurang dari 1 tahun sejak ditemukan
|
Tujuan surveilans AFP dan virus polio liar
adalah terdeteksi dini
adanya virus polio liar
Indikator kinerja surveilans AFP dan virus
polio liar :
(1) Kelengkapan laporan mingguan rumah sakit lebih dari 80 % per tahun
per kabupaten/kota
(2) AFP rate non polio ditemukan minimal 2 per 100.000 anak berusia kurang dari 15 tahun per
tahun per Provinsi
(3) Spesimen adekuat (diambil, dikirim dan diperiksa sesuai dengan
standar) lebih dari 80 % kasus AFP yang ditemukan
|
Makna indikator kinerja surveilans AFP tersebut diatas adalah sebagai berikut :
(1) Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Jawa Timur (contoh), di Jawa Timur tidak ditemukan
virus polio liar selama tahun 2010, maka dapat
dinyatakan bahwa program eradikasi
polio telah berhasil menjadikan Jawa Timur bebas polio.
(2) Untuk
memastikan laporan tersebut “berkualitas baik” dan “dapat dipercaya”, dapat
diuji denganterpenuhinya indikator kinerja surveilans, yaitu :
(a) Jawa Timur memiliki 35 kabupaten/kota, dengan laporan
kegiatan surveilans AFP sebagai berikut :
(1) Dari 35 kabupaten/kota yang ada di Jawa Timur, 33
kabupaten/kota dengan kelengkapan
laporan mingguan lebih dari 80 % per Kabupaten/kota selama tahun 2010
|
(2) AFP rate non polio ditemukan sebesar 2,45 per 100.000 anak
berusia kurang dari 15 tahun selama tahun 2010
|
(3) Spesimen adekuat sebesar 60
% kasus AFP yang ditemukan selama tahun 2010
|
(b) Berdasarkan
indikator kinerja surveilans AFP tersebut diatas, dapat diketahui bahwa
indikator kinerja surveilans (1) dan (3) tidak sesuai dengan indikator kinerja
surveilans AFP yang ditentukan. Berdasarkan indikator kinerja surveilans ini,
maka pernyataan bahwa Jawa Timur “bebas polio” adalah “tidak cukup berkualitas”
atau “tidak dapat dipercaya”.
- Departemen Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1116/MENKES/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, tahun 2004
- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 949/MENKES/SK/VIII/ 2004 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (KLB)
- Steven M. Teutsch and R. Elliott Chuschill. Principles and Practice of Public Health Surveillance. 2nd Ed.Oxford University Press, 2000.
- Sholah Imari. Surveilans Epidemiologi. Prinsip, Aplikasi, Manajemen Penyelenggaraan dan Evaluasi Sistem Surveilans. FETP, Kementerian Kesehatan RI dan WHO, 2010
- U.S. Departement of Health and Humam Services. Principles of Epidemiology in Public Health Practice. 3rd Ed, Atlanta, GA, (http://www.cdc.gov/training/ products/ss1000/ss1000-ol.pdf)
- WHO. Public Health Surveillance. (http://www.who.int/topics/public_health_ surveillance/en/)
Materi ini sangat membantu memberikan pencerahan ilmu epidemiologi, khususnya surveilans.
BalasHapusAri